Klaim pemerintah Indonesia bahwa deforestasi telah turun hingga 90% dalam satu dekade terakhir menuai sorotan tajam dari kalangan peneliti dan pemerhati lingkungan. Dalam laporan yang dirilis awal Mei 2025, tim peneliti dari Norwegian University of Life Sciences (NMBU) bersama peneliti Indonesia mengungkap bahwa klaim tersebut kemungkinan besar merupakan hasil manipulasi data melalui pemilihan tahun dasar yang ekstrem serta perbedaan dalam definisi hutan.
Mengapa Angka 90% Dipertanyakan?
Penurunan deforestasi sebesar 90% yang diklaim pemerintah Indonesia dibandingkan dengan tahun 2015 ternyata memiliki catatan penting. Tahun tersebut merupakan periode anomali iklim El Niño yang parah, menyebabkan kekeringan ekstrem dan kebakaran hutan besar-besaran, terutama akibat praktik pembakaran lahan oleh perusahaan perkebunan. Sekitar 2,6 juta hektare lahan terbakar, termasuk lebih dari 1 juta hektare kawasan hutan.
Ahmad Dermawan, peneliti postdoktoral di NMBU dan salah satu penulis laporan tersebut, menyebut bahwa pemilihan tahun 2015 sebagai tahun dasar memberikan kesan penurunan deforestasi yang dramatis di tahun-tahun setelahnya. “Dengan menjadikan 2015 sebagai titik awal, pemerintah dapat menunjukkan penurunan paling besar karena membandingkannya dengan tahun terburuk dalam sejarah deforestasi Indonesia,” jelasnya.
Jika pemerintah menggunakan tahun dasar yang lebih netral seperti 2010, maka penurunan deforestasi yang terlihat hanya berkisar antara 50% hingga 69%, tergantung dari sumber data yang digunakan seperti Global Forest Watch (GFW) atau Nusantara Atlas.
Permainan Definisi: Hutan Alam vs. Hutan Tanaman
Selain soal tahun dasar, definisi “hutan” versi pemerintah juga menjadi sorotan. Dalam sistem pemantauan nasional, hutan mencakup tidak hanya hutan alam, tetapi juga hutan tanaman seperti akasia dan karet. Sebaliknya, lembaga-lembaga independen seperti GFW hanya menghitung kehilangan hutan alam.
Artinya, ketika sebuah perusahaan menggunduli hutan alam dan menggantinya dengan tanaman industri, hal itu dianggap sebagai “deforestasi” yang kemudian diikuti “reforestasi” — padahal secara ekologis, kerugian biodiversitas dan fungsi ekologis tidak bisa begitu saja dianggap pulih.
Strategi Politik dan Insentif Iklim
Pemilihan 2015 sebagai tahun dasar juga dinilai strategis secara politik, terutama dalam konteks kerjasama iklim dengan Norwegia dalam skema REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation). Dalam kerangka tersebut, Indonesia bisa mendapatkan hingga USD 1 miliar jika berhasil mengurangi emisi dari deforestasi. Hingga 2022, Norwegia telah membayar sekitar USD 216 juta kepada Indonesia berdasarkan klaim pengurangan deforestasi.
Namun perlu dicatat, sebagian besar kebijakan penting yang diklaim sebagai penyebab penurunan deforestasi, seperti moratorium izin baru di hutan primer dan lahan gambut serta sistem legalitas kayu (SVLK), telah dimulai sebelum pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Mengapa Deforestasi Turun? Faktor Kebijakan dan Kelangkaan Hutan
Laporan NMBU menyebutkan bahwa penurunan deforestasi tidak hanya terjadi karena kebijakan baru, tetapi juga karena semakin berkurangnya luas hutan yang tersedia untuk dikonversi. Fenomena ini disebut sebagai forest scarcity effect, di mana deforestasi melambat karena hutan yang tersisa semakin sedikit dan nilainya meningkat.
Studi ini juga menemukan bahwa ketika tutupan hutan suatu provinsi turun hingga sekitar 40% dari luas wilayah, maka laju deforestasi mulai menurun. Ini terlihat jelas di provinsi-provinsi di Sumatera yang telah mengalami deforestasi parah dalam dua dekade terakhir.
Namun Tren Naik Kembali
Meskipun tren dekade terakhir menunjukkan penurunan, data terbaru menunjukkan adanya lonjakan deforestasi pada 2023. GFW mencatat peningkatan deforestasi sebesar 21% dari 2022 ke 2023. Data dari Nusantara Atlas bahkan menunjukkan lonjakan signifikan yang dipicu oleh perluasan perkebunan sawit dan tambang, terutama di Papua dan Sulawesi — dua wilayah yang masih memiliki hutan alam tersisa dalam jumlah besar.
Peran Masyarakat Sipil dan Kebutuhan Transparansi
Dalam kondisi di mana data pemerintah dipertanyakan, peran kelompok masyarakat sipil dan pemantau independen menjadi sangat penting. Mereka menyediakan data pembanding, mendorong transparansi, dan menjaga akuntabilitas negara dalam upaya pelestarian hutan.
Ahmad dan timnya menyimpulkan bahwa untuk mendapatkan gambaran tren deforestasi yang lebih adil dan akurat, sebaiknya digunakan metode moving average atau rata-rata bergulir tahunan, dan tidak bergantung pada satu titik tahun ekstrem.
Kesimpulan: Jangan Terkecoh Angka, Lihat Proses dan Dampaknya
Penurunan deforestasi memang terjadi di Indonesia, tetapi tidak sebesar yang diklaim pemerintah jika kita melihatnya melalui lensa data yang netral dan definisi yang konsisten. Yang lebih penting dari sekadar angka adalah memahami dampak ekologis, sosial, dan ekonomi dari setiap hektare hutan yang hilang — dan menjaga agar kebijakan konservasi berjalan beriringan dengan transparansi, partisipasi masyarakat, dan integritas data.
Referensi Utama:
Hans Nicholas Jong(2025). Indonesia’s deforestation claims under scrutiny over ‘cherry-picked’ data. tersedia pada laman: https://news.mongabay.com/2025/05/indonesias-deforestation-claims-under-scrutiny-over-cherry-picked-data/ [6 May 2025].
Referensi Tambahan:
-
Global Forest Watch (2024). “Indonesia Forest Data and Trends.” https://www.globalforestwatch.org
-
Austin, K.G. et al. (2019). “What causes deforestation in Indonesia?” Environmental Research Letters, 14(2).
-
Ministry of Environment and Forestry (2023). “Laporan Tahunan Perkembangan Hutan Indonesia.”
-
Mongabay Indonesia (2025). “Indonesia’s deforestation claims under scrutiny over ‘cherry-picked’ data.”
-
Seymour, F. & Harris, N.L. (2019). “Reducing tropical deforestation.” Science, 365(6455): 756-757.