Oleh: Dann Okoth | Diadaptasi oleh ChatGPT dalam Bahasa Indonesia
Nairobi, 10 Oktober 2024 — Krisis iklim bukan hanya soal mencairnya es di kutub atau naiknya permukaan laut. Penelitian terbaru mengungkap bahwa cuaca ekstrem yang dipicu oleh perubahan iklim ternyata juga dapat meningkatkan kekerasan terhadap perempuan—bahkan hingga dua tahun setelah bencana terjadi.
Penelitian yang dilakukan oleh University College London (UCL) ini menunjukkan bahwa perempuan di negara-negara yang terdampak bencana iklim seperti badai, banjir, atau tanah longsor, memiliki risiko lebih tinggi mengalami kekerasan fisik atau seksual dari pasangan mereka. Temuan ini memperkuat seruan agar rencana aksi iklim global lebih memperhatikan aspek kesetaraan gender.
Ketika Cuaca Ekstrem Memicu Kekerasan
Menurut data PBB, satu dari tiga perempuan di dunia mengalami kekerasan oleh pasangan intimnya. Namun, angka tersebut melonjak di negara-negara yang baru saja mengalami climate shock atau guncangan iklim.
“Peristiwa seperti badai, tanah longsor, dan banjir tampaknya berhubungan dengan peningkatan kekerasan pasangan dua tahun setelahnya secara nasional,” ujar Jenevieve Mannell, profesor Ilmu Sosial dan Kesehatan Global dari UCL, yang memimpin studi ini. Penelitian mereka dipublikasikan dalam jurnal PLOS Climate pada 2 Oktober lalu.
Para peneliti menganalisis data survei nasional dari lebih dari 150 negara selama 26 tahun, dan mencocokkannya dengan data bencana alam seperti gempa bumi, letusan gunung berapi, suhu ekstrem, kekeringan, banjir, badai, dan kebakaran hutan.
Hasilnya menunjukkan bahwa tidak semua jenis bencana berdampak sama. Gelombang panas, misalnya, memiliki efek fisiologis langsung yang dapat memicu agresi dan kekerasan. Sedangkan badai dan banjir berdampak secara perlahan melalui tekanan mental, kerawanan pangan, dan ketidakpastian ekonomi.
Dampak Ekonomi dan Ketidakamanan Gender
Menariknya, para peneliti menemukan bahwa pengaruh cuaca ekstrem terhadap kekerasan bisa sebanding dengan indikator ekonomi nasional. Negara-negara yang lebih makmur cenderung memiliki tingkat kekerasan pasangan yang lebih rendah.
“Peristiwa cuaca ekstrem membawa dinamika ekonomi dan keamanan yang merugikan perempuan dan anak perempuan, terutama terkait hak-hak seksual dan reproduksi mereka,” kata Gladys Kiio, direktur eksekutif African Gender and Media Initiative Trust, sebuah lembaga berbasis di Kenya yang mempromosikan kesetaraan gender.
Kiio mencontohkan banjir besar di Kenya awal tahun ini yang memaksa banyak keluarga mengungsi. Salah satu kisah memilukan yang ia ceritakan adalah tentang seorang ibu dan putrinya yang mengalami disabilitas, yang menjadi korban pemerkosaan berulang kali di permukiman kumuh Nairobi setelah kehilangan tempat tinggal mereka akibat banjir.
Di komunitas pastoral (penggembala), bencana kekeringan bahkan mendorong keluarga menjual anak perempuannya untuk dinikahkan demi mengganti hewan ternak yang mati. Ini menjadi bentuk kekerasan struktural yang berkaitan erat dengan krisis iklim.
Membutuhkan Aksi Iklim yang Sensitif Gender
Penelitian ini datang di saat yang krusial menjelang KTT Iklim COP29 di Baku, Azerbaijan, di mana negara-negara akan mempresentasikan pembaruan climate action plan mereka. Namun sayangnya, banyak rencana aksi iklim nasional masih belum menyentuh isu gender secara serius.
“Rencana aksi iklim nasional Kenya belum memasukkan isu gender secara komprehensif,” ujar Kiio. Oleh karena itu, sejumlah organisasi perempuan tengah menyusun Gender and Climate Action Plan untuk memastikan perspektif gender hadir dalam semua respons terhadap perubahan iklim.
“Rencana ini memberi kita peta jalan untuk memahami bagaimana perubahan iklim memengaruhi hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan,” tambahnya.
Langkah Nyata yang Diperlukan
Menurut Mannell, negara-negara sebenarnya memiliki dua mekanisme untuk mengatasi masalah ini:
-
Nationally Determined Contributions (NDCs) — komitmen negara untuk mengurangi emisi dan beradaptasi terhadap perubahan iklim.
-
Climate Change Gender Action Plans — yang sedang dikembangkan di beberapa negara untuk memastikan isu gender masuk dalam kebijakan iklim.
Negara-negara memiliki tenggat waktu hingga Februari untuk memperbarui NDC mereka, namun sebagian besar akan mengumumkan pembaruan tersebut pada COP29 bulan November ini.
“Kita juga butuh strategi yang jelas untuk memasukkan isu perubahan iklim ke dalam program-program yang bertujuan menanggulangi kekerasan terhadap perempuan,” tegas Kiio. “Untuk saat ini, masih terlalu banyak wacana dan terlalu sedikit aksi nyata.”
Penutup
Perubahan iklim bukan hanya tantangan lingkungan, tapi juga tantangan sosial—khususnya bagi perempuan. Kekerasan yang meningkat akibat bencana iklim menunjukkan betapa urgennya integrasi antara kebijakan iklim dan kesetaraan gender.
Jika dunia ingin benar-benar menyelamatkan bumi, maka keselamatan dan hak-hak perempuan tidak boleh dikesampingkan.
Sumber: https://www.preventionweb.net/news/how-extreme-weather-fuelling-violence-against-women