Ketika Hutan Pergi, Banjir Datang: Krisis Ekologis Akibat Penggundulan Hutan di Indonesia

Banjir bukanlah fenomena baru bagi Indonesia. Dari Sumatera hingga Papua, banjir kerap menjadi bencana tahunan yang menghancurkan rumah, merenggut nyawa, dan melumpuhkan aktivitas sosial ekonomi masyarakat. Namun, yang makin jelas dalam beberapa dekade terakhir adalah bahwa banjir bukan hanya soal cuaca ekstrem atau curah hujan tinggi—melainkan cerminan dari krisis tata kelola lingkungan, terutama akibat penggundulan hutan secara masif.


Penggundulan Hutan: Akar Masalah yang Terabaikan

Indonesia, yang pernah dikenal sebagai paru-paru dunia dengan hutan tropis terluas ketiga di dunia, kini menghadapi tekanan luar biasa akibat alih fungsi lahan yang tidak terkendali. Pembukaan hutan untuk perkebunan sawit, pertambangan, pemukiman, dan infrastruktur telah menyebabkan hilangnya jutaan hektare tutupan hutan dalam beberapa dekade terakhir. Akibatnya, fungsi ekologis hutan sebagai penahan air dan pengatur tata air alami semakin melemah.

Akar pohon yang seharusnya menyerap air hujan dan menahannya di dalam tanah kini tak lagi ada. Lapisan tanah menjadi lebih mudah terkikis, dan saat hujan deras turun, air langsung mengalir ke dataran rendah tanpa hambatan, menyebabkan banjir bandang dan longsor.

Potret Banjir yang Dipicu Deforestasi

Beberapa kejadian banjir besar di Indonesia menunjukkan keterkaitan langsung dengan deforestasi:

  • Banjir di Kalimantan Selatan (2021) menjadi sorotan nasional. Curah hujan ekstrem memang terjadi, tetapi kajian dari WALHI dan berbagai akademisi menunjukkan bahwa banjir diperparah oleh hilangnya hutan di daerah tangkapan air, terutama akibat ekspansi tambang dan sawit. Lebih dari 50 ribu orang terdampak, dan kerugian ekonomi mencapai miliaran rupiah.

  • Banjir bandang di Luwu Utara, Sulawesi Selatan (2020) menewaskan puluhan orang dan menyebabkan kerusakan besar. Daerah hulu sungai yang dulunya ditumbuhi hutan lebat kini berubah menjadi areal terbuka. Ketika hujan deras turun, tanah dan lumpur terbawa aliran sungai, menimbulkan banjir bercampur material longsoran.

  • Banjir di Jayapura, Papua (2022) juga diidentifikasi sebagai akibat dari berkurangnya vegetasi di daerah hulu dan lereng gunung Cyclops, akibat pembangunan dan perambahan liar.

Hutan sebagai Penyangga Sistem Hidrologi

Secara ekologis, hutan berfungsi sebagai penyerap dan penyimpan air alami. Tajuk pohon memperlambat jatuhnya air hujan, akar menyerap dan menahan air di dalam tanah, dan humus di lantai hutan menyimpan kelembapan. Ketika pohon-pohon ditebang, seluruh sistem ini rusak. Tanah menjadi keras, air mengalir di permukaan, dan volume aliran permukaan meningkat drastis dalam waktu singkat.

Lebih dari itu, deforestasi juga memperparah sedimentasi sungai, karena tanah yang tererosi terbawa ke badan sungai, menyempitkan aliran dan mempercepat luapan saat debit air naik.

Solusi: Rehabilitasi dan Tata Kelola Hutan yang Berkelanjutan

Menghadapi krisis ini, pendekatan reaktif seperti normalisasi sungai dan pembangunan tanggul saja tidak cukup. Solusi jangka panjang harus menyasar pada pemulihan fungsi ekosistem hutan. Beberapa langkah krusial yang perlu dilakukan antara lain:

  1. Moratorium pembukaan hutan alam primer dan lahan gambut, serta penegakan hukum terhadap pembalakan liar.

  2. Rehabilitasi daerah aliran sungai (DAS) melalui reforestasi dan agroforestry.

  3. Pelibatan masyarakat adat dan lokal dalam pengelolaan hutan berbasis kearifan lokal.

  4. Integrasi tata ruang berbasis ekologi dalam pembangunan daerah, terutama di wilayah rawan bencana.

  5. Pendidikan lingkungan dan kesadaran publik untuk mengubah cara pandang terhadap hutan—bukan sekadar sumber kayu dan lahan, tetapi sebagai penjaga kehidupan.

Menatap Masa Depan: Hidup Berdampingan dengan Alam

Banjir tidak bisa dihilangkan sepenuhnya—ia adalah bagian dari dinamika alam. Namun, skala dan dampaknya bisa dikendalikan jika kita menata kembali hubungan kita dengan hutan. Menebang satu pohon mungkin tampak sepele, tetapi jika dilakukan jutaan kali, dampaknya adalah banjir yang meluluhlantakkan kehidupan.

Indonesia masih punya harapan, asalkan mulai hari ini, kita memulihkan yang rusak, melindungi yang tersisa, dan membangun tata kelola yang berpihak pada keberlanjutan. Karena ketika hutan berdiri kokoh, maka air akan mengalir dengan damai—bukan sebagai ancaman, melainkan berkah kehidupan.